Glitter

Shadow Word generated at Pimp-My-Profile.com

Minggu, 13 Februari 2011

Rahasia Sang DOKTER

Sudah lama sekali rasanya aku tak mengunjunginya. Kira-kira sudah 10 tahun lamanya. Pram namanya, Pramono Adi Yuwono. Seorang dokter bedah syaraf yang sukses sekaligus direktur Rumah Sakit Adi Utama, salah satu rumah sakit terkenal di kota ini.

Aku menjadi sahabatnya sejak di bangku SMA. Tapi, kemudian kami berpisah. Aku memilih jadi insinyur di bandung sementara dia memilih jadi dokter di jogja. Aku ke ITB dia ke UGM. Namun, meski beda kota kami masih kontak-kontakan. Waktu liburan kadang aku ke jogja, kadang Pram yang ke bandung.

Kira-kira 2 tahun kami sempat putus kontak. Kami sibuk satu sama lain, aku sibuk mengurusi bisnisku dan merintis usahaku yang kini alhamdulillah lumayan besar, sementara rupanya Pram sibuk buka praktik dan usaha klinik yang kini jadi rumah sakit besar. Suatu kali, aku meneleponnya.

Me : Assalammualaikum Pram, piye kabarmu? Jek eling karo aku ora?
Pram : Waalaikumsalam. Iki sopo tho? Adrian tah iki?
Me : Alhamdulillah. Jek eling awakmu. Iyo, aku koncomu, sobatmu SMA. Jek 2 taun gak ketemu mosok lali?
Pram : Alhamdulillah. Gak Yan. Gak mungkinlah aku lali. Yaopo Kabarmu?
Me : Alhamdulillah apik-apik. Oh ya Pram, aku arep ada proyek di Jogja. Kebetulan kita kan sudah 2 tahun gak kontak-kontakan. Aku sibuk, awakmu pisan. Gimana kalo aku ke rumahmu?
Pram : Wah.Sip.Beneran Yan. Aku wis kangen iki. Banyak yang pingin tak critakan ke kamu. Kapan awakmu ke Jogja rencananya?
Me : InsyaAllah sabtu besok. Tunggu aja. Oke kalo gitu sampe ketemu sabtu besok. Siapno jajanan sing uakeh.Hahaha
Pram : Oke. Sip. Don't worry.
Me : wassalam
Pram : Waalaikumsalam
(Percakapan usai..bahasanya gado-gado, maklum campuran orang Jawa-Indonesia..)

Akhirnya hari sabtu sore tanggal 11 Maret aku sampai di Jogja dengan kereta turangga dari bandung. Kemudian segera kutemui keluarga di jogja setelah itu ke rumah Pram. Rumah Pram tak jauh dari rumahku. Kira-kira 15 menit perjalanan ke rumahnya.

Saat aku sampai di depan pagar rumah Pram, kulihat rumahnya agak ramai karena lumayan banyak yang datang malam ini. Aku harus menunggu kira-kira 2 jam untuk bisa ketemu dan ngobrol sama Pram. Alhamdulillah akhirnya setelah pasiennya habis, aku bisa ketemu dan ngobrol sama Pram. Dia sedikit lebih tua sekarang dan rambutnya banyak uban. Selain itu terlihat guratan di wajahnya yang menunjukkan bahwa dia lelah sekali.

Setelah basa-basi dan cerita ngalor-ngidul. Akhirnya aku tanya pada Pram ''Pram, kamu sekarang udah sukses. Rumahmu udah kamu bangun dan perluas jadi segedhe ini, pasienmu banyak tiap harinya terus sekarang jadi direktur RS. Subhanallah. Kalo boleh tau apa rahasiamu Pram?'',tanyaku. Pram tersenyum mendengar pertanyaanku. Kemudian dia berkata dengan bahasa Jawanya yang khas Jogja ''Sing koen dhelok iki mek 1% kesuksesanku Yan'' (Yang kamu lihat itu cuma 1% dari kesuksesanku). ''Kamu nggak lihat 99% kegagalanku di tengah-tengah perjuanganku untuk jadi seperti ini'', lanjutnya. Aku diam dan menyimak.

''Pertama kali menjejakkan kakiku di gedung Fakultas Kedokteran UGM, aku bener-bener gak pernah membayangkan sebelumnya bisa kuliah disini. Bener Yan, gedunge mewah tenan koyok apartemen. Terus waktu daftar ulang, aku disodori kertas berisi rincian biaya pendidikan yang harus dilunasi. Kaget aku Yan, sekolah dokter iku larang. Bingung aku waktu itu dan gak berani bicara sama bapak ibuku. Sempet aku putus asa, tapi akhirnya kuputuskan ngomong ke bapak ibuku, tapi yang namanya orangtua pasti gak pingin anaknya kecewa toh. Bapakku cuma bilang, ''Wis Le ojo dipikir masalah duit iki, mengko bapak sing nggolekno'' (Sudah nak, jangan dipikir masalah uang ini, nanti bapak yang nyarikan) pasti ada jalan keluar. Sing penting awakmu sekolah sing pinter'', kata bapakku dengan yakin.

''Tanpa sepengetahuanku bapak menjual sawahnya, sawah satu-satunya sebagai sumber penghidupan kami. Setelah aku tahu hal itu, aku sempat menangis, karena demi biaya sekolahku, orangtuaku rela mengorbankan apa saja, bahkan miliknya yang berharga demi anaknya. Hal itu membuatku makin semangat belajar. Disamping itu, aku mencari beasiswa sana-sini dan ngajar di lembaga bimbingan belajar. Karena aku tak ingin ngrepoti orangtua lagi. Selain itu dalam rangka belajar hidup mandiri juga''.

''Pernah suatu ketika saat aku di semester 3, aku diberikan ujian oleh Allah SWT. yang bagiku itu bener-bener berat. Aku ngalami kecelakaan, kakiku patah, lumayan parah. Waktu itu kita udah jarang kontak-kontakan, tapi kamu sempet njenguk aku kan langsung dari bandung ke jogja meski cuma bentar, hahaha. Aku sempat frustasi sebenernya, aku merasa gagal, pengorbanan orangtuaku membiayaiku seakan sia-sia, aku jadi tambah ngrepoti orangtua karena mesti dirumah terus, bergantung sama mereka selama sakit, nggak bisa mandiri kayak dulu lagi.''

''Ditambah lagi pada waktu itu aku harus istirahat kurang lebih setahun demi penyembuhan kakiku sehingga kuliahku mesti mundur setahun dan terpaksa ngulang sama adek tingkat. Tapi, ya wis tak terima aja, mungkin ini udah rencanaNya. Di sela-sela aku masih cuti gak kuliah, aku belajar terus, dan waktu dirawat di RS Sardjito, aku sempat bisa belajar. Malahan belajar langsung. Dokternya ngerti aku mahasiswanya, jadi aku kenal sama perawat-perawatnya, tanya-tanya, diajari, ketemu pasien langsung malahan. Dari situ aku belajar dari pasien-pasien yang ada.''

''Meski sakjane ilmuku iki belum mumpuni, tapi aku jadi tahu kondisi pasien yang sebenernya. Pasien stroke, kanker otak, anak-anak cerebral palsy dan masih banyak. Rasanya aku menemukan semangat kembali setelah rasa putus asa itu. Pikirku, mungkin ini hal yang hendak diajarkanNya padaku untuk jadi seorang dokter. Aku jadi tahu juga bahwa ternyata rumah sakit itu biayanya mahal. Lha terus aku mikir, gimana ya kalo yang sakit itu gak bisa bayar? orang-orang yang sakit itu kan gak cuma orang kaya, tapi juga orang miskin. Malah lebih banyak orang miskinnya. Akhirnya, sejak itu aku bikin komitmen Yan. Kalo nanti aku jadi dokter, aku ingin membantu, terutama mereka yang miskin, yang gak bisa beli obat tapi pingin sembuh.''

Aku terus mendengarkan dengan seksama dan sedikit terharu mendengar ceritanya. ''Kalo jadi dokter buat kaya, mendingan gak usah jadi dokter, jadi pengusaha atau anggota DPR aja. Dokter itu pekerjaan mulia, manusiawi bukan buat nyari kaya. Itu susahnya hahaha. Kita jadi penyedia layanan kesehatan yang bertugas membuat pasien sembuh dari sakit sekaligus membuat pasien bisa bertahan hidup lebih lama. Susah kalo kataku. Selain bertanggung jawab dalam hal nyawa kita haruslah bersikap manusiawi dan banyak godaannya jadi dokter itu kalo gak kuat pasien bisa jadi korban.''

''Selain itu, jadi dokter dihadapkan pada dilema. Akeh dilemane. Kita disuruh memilih, mau jadi dokter yang seperti apa. Yang mengutamakan pasien atau diri sendiri? Mau memperkaya diri atau memperkaya hati? Aku dari keluarga yang pas-pasan. Kamu kan sahabatku sejak lama, jadi udah ngerti toh. Aku akui, dulu aku milih jadi dokter memang ingin mengubah nasib, selain itu orangtuaku pingin ada anaknya yang jadi dokter. Tapi, setelah mengenyam pendidikan di sekolah kedokteran, banyak hal yang aku dapat sehingga aku ubah tujuan awalku yang semula ingin ngubah nasib. Selain itu, ditambah lagi dengan pengalamanku jadi pasien aku jadi makin ngerti gimana seharusnya dokter itu''.

''Di satu sisi, ada banyak hal yang kualami, terutama saat kuliah. Aku belajar dan merasakan bagaimana pahitnya ketika kerja kita tidak dihargai, kita dianggap tidak ada, ketika kita bukan termasuk orang luar biasa dan cuma orang biasa, masih banyak lagi. Tapi dari situ aku belajar yang namanya ketulusan hati, manajemen sakit hati, belajar jadi orang kuat, gak gampang putus asa.''

''Dan dari itu semua, Alhamdulillah tenan. Memang ini sudah rencanaNya mungkin. Setelah lulus kuliah sarjana kedokteran, dengan perjuangan yang berat nyari beasiswa sana-sini karna kan aku dari keluarga yang pas-pasan. Akhirnya aku bisa nglanjutin S2 di UGM ngambil Magister Manajemen RS sambil nyambi ngambil profesi dokterku. Lumayan berat, terutama dalam hal membagi waktu. Tapi yo tak lakoni wae, selalu ada kemudahan yang diberikanNya padaku. Aku sangat merasakan itu.''

''Setelah lulus dua-duanya dapet gelar dokter dan master, aku nggak buka praktek dulu. Aku kerja di RS kurang lebih 2 tahun sambil nabung Yan buat bikin klinik. Terakhir pas kamu kesini itu, aku kan lagi sibuk-sibuknya ngurusi klinikku dan alhamdulillah saiki dadi Rumah Sakit gedhe. Mungkin, waktu lagi jaman susah-susahnya aku waktu itu, Allah itu lagi melatih atau ngasih aku semacam training gitu paling buat nyiapin aku jadi orang sukses kayak sekarang. Rasa-rasanya gitu, hahaha.''

''Intine kalo kamu kepingin kayak aku. Ilmuku itu ada 3. Pertama, kamu kalo kerja itu yang tulus, ikhlas, biarin kerjamu gak dianggep atau kamu dianggep gak ada, gak dihargai. Biar. Anggepen itu pelajaran mental dan manajemen hatimu. Kedua, banyaklah memberi pada orang lain tapi jangan mengharap balesan sedikitpun dari orang yang kamu beri. Aku sedikit cerita nih. Pas awal kali aku praktek, pasiennya masih gak serame ini. Kebanyakan pasienku waktu itu orang tani, buruh, pas-pasan. Kalo mereka gak punya uang, mereka bayar pake beras,kadang ngasih makanan, ada juga yang ngucapin terima kasih aja karena memang aku gak mau dibayar, yah buat makan aja susah. Tapi, rasanya hati ini bener-bener puas dan bahagia bisa nolong mereka, bisa meringankan penderitaan mereka. Alhamdulillah dengan sering membantu aku gak pernah kekurangan suatu apa pun. Mau makan cukup, mau beli ini, itu mesti selalu ada rejeki.''

'' Yang ketiga, Selalu yakinlah bahwa ada Allah dimanapun, kapanpun, bagaimanapun kondisimu. Selalu ada kemudahan dan pertolonganNya. Yakinlah itu. Oiya sebenarnya ini yang lebih awal dari yang pertama. Jangan lupa jadikan apa yang kamu lakukan ini semata-mata buat Allah, ayah, ibu, dan masyarakat.'' Katanya mengakhiri pembicaraan.

Ada ungkapan Pram yang membuatku benar-benar tak bisa lupa. Kata terakhirnya padaku. ''Aku bukan malaikat. Tapi, tak ada salahnya kan bila aku ingin menjadi dokter berhati malaikat?''

Aku tersenyum sekaligus tanpa sadar air mata ini meleleh mengingat kembali percakapan antara aku dengannya  12 tahun yang lalu. Pram memang sudah pergi selamanya. Pergi dalam kedamaian dan tanpa sakit apa pun. Seingatku, Ayu, putrinya itu bilang bahwa ayahnya meninggal usai menunaikan shalat subuh. Saat itu tidak biasanya ayahnya tidur lagi usai shalat, kemudian waktu Ayu membangunkan ayahnya, ternyata ayahnya sudah dipanggil olehNya. Aku tak menyangka itu pertemuan terakhirku dengannya.

Saat aku melihat wajahnya dalam balutan kain putih sebelum dia dikuburkan. Kulihat wajahnya begitu tenang seolah tersenyum bahagia sebab bisa segera bertemu denganNya. Semoga saja ia memperoleh tampat terbaik disisiNya dan apa yang selama ini dilakukannya membuatnya bisa merasakan tempat paling indah yakni surga yang kekal abadi. Amin.

Rupanya Pram menularkan dan mengajarkan kebaikannya pada anak tunggalnya, Ayu yang kini juga jadi dokter dan menjadi direktur RS Adi Utama menggantikan ayahnya.

Sekarang aku di depan nisan Pram. Dokter Pramono Adi Yuwono, MARS, Sp.BS sahabat terbaik sepanjang hidupku. ''Pram, maafkan aku. Baru kali ini aku sempat mengunjungi makammu. Terima kasih atas persahabatan kita selama ini dan pesanmu itu memang benar adanya. Alhamdulillah perusahaan energi alternatif yang kujalani kini berkembang pesat dan aku bisa menolong ribuan orang yang membutuhkan pekerjaan. Terima kasih sobat, semoga sebentar lagi aku bisa menyusulmu kesana''.

1 komentar: